Ibadrul Huda, S.Pd.
Kamarnya ada di lantai dua, berdinding semen dengan lantai dari sirap kayu. Satu kamar diisi oleh 5 orang santri baru. Oh ya, Pondok pesantren ini tidak murni seperti lazimnya pondok salaf yang mempunyai santri ribuan bahkan puluhan ribu. Di pondok ini juga tidak ada lurah pondok yang berasal dari santri senior.
Pondok yang dipilih maulana adalah pondok semi modern dimana hampir semua santrinya adalah siswa dari sekolah favorit di jember. Karena santrinya adalah siswa maka masa nyantri rata-rata hanya sampai tiga tahun saja. Lulus sekolah maka lulus juga nyantrinya.
Kembali leptop.
Pagi itu maulana kali pertama memasuki masjid pondok, sebagai seorang santri baru ia mempunyai keinginan yang nenggebu untuk menunjukkan kesantriaannya. Seolah ia ingin mengatakan "Hai dunia perkenalkan saya Maulana adalah seorang santri". Ya bagi maulana santri adalah jabatan istimewa dan sangat perlu dibanggakan. Dengan status santrinya artinya ia telah setara dengan saudaranya yang lain.
Pagi itu sekitar jam 8, maulana pergi ke masjid untuk mekaksakan sholat dhuha. Jarak kamar maulana dengan masjid sekitar 200 meter. Melewati lapangan sepakbola sekaligus merangkap jabatan sebagai halaman pondok. Ia memakai sandal baru merek japit. Eh ... Sandal japit merek swallaw warna biru ding.
Ia meletakkan sandalnya tepat sisi pojok masjid dan menatanya dengan rapi. Setelah selesai sholat ia bingung bukan kepalang. Berjalan mondar mandir mengelilingi setiap pojok masijid. Sesekali ia diam seperti sedang berfikir dan mengingat-ingat sesuatu. Ia berkata lirih "tadi saya taruh disini, bener disini menghadap ke utara, tapi kok dak ada, masak saya lupa naruh?."
Bersambung ...


Posting Komentar