0

Dewi Taroro


SUATU pagi yang gigil, di lembah Gunung Baluran. Matahari baru sepenggalah naik. Burung- burung berkicau merdu. Beberapa anak kijang terlihat berkejaran, menyusul induknya. Malam harinya. ketika kawanan serigala mengaum, membelah pekatnya malam. Buyut Cungking, tetua desa, melantunkan tembang Kearifan hidup, yang di dalamnya berisi pesan bagaimana manusia harus menghargai alam, melestarikan, menjaga keseimbangan, demi kelangsungan hidup mereka di masa yang akan datang.

"Kita ini, manusia, hanya numpang di sini. Tumbuhan, hewan-hewan, jin dan sebangsa halus juga numpang, Semua makhluk, diciptakan untuk berdampingan. Tapi ya harus ngerti, karena sama- sama numpang, kita harus saling menjaga, saling hormat, patuh sama aturan. Kalau tidak, ya tanggung sendiri akibatnya. perang berkepanjangan, saling rebut kekuasaan. Kalau sudah demikian, alam akan mengambil alih kendali, menetapkan hukumnya, menegakkan aturannya. Sungguh, saat itu manusia akan seperti debu yang ditiup'wuss'.Semuanya musnah!"

Mendengar ucapan Buyut Cungking, bulu kuduk warga desa berdiri ngeri. Mata mereka berkaca-kaca Tidak usah cemas, Anakku! Hal itu bisa kita tunda terjadinya, dengan menanamkan pemahaman yang baik di hati kita, hati anak-anak kita. Semoga kelak, saat satu-persatu dari kita
kembali ke tanah, bumi ini masih hijau seperti sediakala." Buyut Cungking mengakhiri ucapannya.

Tujuh belas tahun berlalu....
Sebelas musim berlalu, enam puluh enam purnama, lima kali penghujan, enam kali kemarau. Memasuki musim keduabelas, penghujan keenam, purnama keenam puluh tujuh, desa terpencil itu semakin sejahtera saja, para penduduk kelebihan bahan makanan, ternak mereka sudah ratusan jumlahnya.

Hingga suatu hari, tersebarlah keindahan lembah Baluran. Padang yang menghijau di musim penghujan, menguning keemasan ketika kemarau. Pantainya yang indah, tempat menikmati matahari terbit, serta kepiting raksasa yang hidup makmur disana.

Tembang itu kembali dinyanyikan. Tapi bukan lagi oleh Buyut Cungking namun oleh dewi Taroro seorang cicit yang mewarisi segala apa yang dimiliki buyut Cungking.

"Alkisah. Dulunya Baluran adalah hutan tempat para bangsa jin, kerajaannya para dedemit, hantu, siluman dan makhluk halus lainnya. Tidak ada yang berani mengusik tempat ini, apalagi memasukinya. Melihat dari jauh saja sudah menakutkan, menciutkan nyali manusia."

"Buyut Cungking, orang yang pertama kali memasuki hutan Baluran. Darinya pula nama Baluran berasal, dikenal hingga sekarang. Berbekal ilmu kanuragan yang cukup, hati yang tulus, serta pemahaman yang baik. Buyut Cungking mendatangi pimpinan para makhluk halus, memohon untuk diizinkan memasuki wilayah mereka.

Raja Jin mengizinkan Buyut Cungking untuk tinggal berdampingan dengan bangsa jin. Dengan satu syarat, mereka tidak akan saling mengganggu. Sejak hari itu, Buyut Cungking menetap di lembah ini. Membawa istrinya yang ditinggal selama bertahun-tahun. Kemudian orang tua kami, yang bekerja pada Buyut Cungking, menyusul ikut menetap.

Tidak terasa, waktu menggelinding bagai sebuah bola yang dijatuhkan dari puncak Baluran. Keadaan di perkampungan itu masih seperti seperti biasa: para petani menggarap ladang, peternak menggembalakan ternak-ternak mereka, anak-anak kecil berlarian di sekitar rumah panggung, sesekali menggoda warga desa yang kebetulan lewat.

Hanya saja, mendung menyelimuti setiap bagian di desa itu. Termasuk hati Dewi Taroro. Hal yang ditakutkan dewi Taroro pun terjadi Kang Tohari tampak berlari dari kejauhan, berseru panik.
"Ada apa, Kakang?"
"Kami melihat Adipati Sutopo dengan pasukannya, jumlah mereka ratusan. Mereka akan mengusir kita dari desa, Dewi. Mereka akan merampas ladang-ladang kita, ternak kita.
"Di mana mereka sekarang?"
Mereka baru tiba di Bekol.
"Baiklah, mari kita segera kembali ke desa."
"Tunggu sebentar, Nak!" Raja Jin, yang sejak tadi berada di dekat Dewi Taroro mencegah. Menampilkan sosoknya dalam wujud manusia. Melihat ada manusia tiba-tiba muncul di hadapannya, Kang Tohari terperanjat.
"Siapa dia, Dewi?"
"Aku adalah Raja jin. Jangan takut, aku tidak akan macam-macam. Lagi pula rombongan Adipati Sutopo tidak akan sampai ke desa kalian. Mereka akan terus berputar-putar di tempat mereka. Kecuali, mereka mengajak Ki Barodin. Saat itu ilmuku tidak akan mempan, aku tidak ada apa-apanya dibanding Ki Barodin. Menurut kabar, Raja Jin di Alas Purwo, yang juga saudaraku, telah dikalahkan olehnya.”

Mendengar perkataan Raja Jin, Dewi Taroro dan Kang Tohari mengangguk sepakat. Saat Adipati Sutopo bersama pasukannya berputar-putar di jalan yang sama, diadakanlah rapat antara manusia dengan bangsa jin. Dałam rapat iłu disepakati bahwa mereka tidak akan mengizinkan rombongan Adipati merebut tempat tinggal mereka, apapun taruhannya. Mereka akan melawan.

Sudah dua hari, Adipati Sutopo berputar-putar di tempatnya, setiap mencoba jalan lain, ia kembali ke tempat semula. Merasa ada yang tidak beres, mereka memutuskan diam saja. Adipati memanggil Ki Barodin untuk membantunya. Sial! Semenjak kedatangan Ki Barodin, Adipati dan pasukannya unggul dalam hal kekuatan. Mereka cepat sekali memasuki desa. Beberapa pasukan berhasil terkena jebakan yang Kang Tohari persiapkan sebelumnya. Adipati menjadi geram, mempercepat laju kudanya. Ki Barodin melayang-layang di udara menggunakan kanuragan tingkat tinggi.

Serangan demi serangan dilancarkan, berkalikali Raja Jin mengerahkan kekuatan, menyerang Ki Barodin. Tapi ilmu Ki Barodin tanpa tandingan. Raja Jin berhasil dikalahkan. Melihat Raja Jin dikalahkan, bangsa jin mengamuk sejadi-jadinya. Tapi hanya sebentar, Ki Barodin mengalahkan bangsa jin dengan sekali kibas.
Di detik-detik itulah, Dewi Taroro memikirkan apa yang pernah dikisahkan Buyut Cungking sewaktu ia kecil: pengorbanan Dewi Shinta. Ada saat di mana permintaan kita langsung dikabulkan. Permintaan sekaligus ujian terberat manusia. Tidak sembarang yang bisa melakukannya. Harus benarbenar tulus, ikhlas.

Mantra itu, doa hebat itu diucapkan Dewi Taroro. Seketika petir menyambar, hujan turun begitu deras, angin bertiup kencang, pohon-pohon hampir tercerabut. Sungguh, pemandangan yang tidak ingin disaksikan oleh siapapun.

"Jangan lakukan, Dewi! Ampuni kami." Ki Barodin kaget. Memohon ampun. Sehebat apapun ia, seberapa tinggi ilmu yang dimilikinya. la tetap tidak akan pernah bisa melawan kehendak langit. Tetapi semuanya sudah terlambat.

Seperti pasir yang digenggam, lalu ditiup sekencangnya. Seperti itulah nasib pasukan beserta Adipati Sutopo. Mereka diterbangkan angin. Ki Barodin berusaha kabur, menjauh dari medan pertempuran. Akan tetapi usahanya sia-sia, saat kakinya hendak berlari, saat itu pula bumi merekah sempurna. Ki Barodin ditelan seperti potongan kue kecil. Kemudian tanah kembali merapat, tubuh Ki Barodin tertimbun tanah, Pertempuran usai. Baluran kembali tenang.

Seminggu setelah pertempuran, desa terpencil itu ditinggalkan. Kang Tohari bersama penduduk tidak mau hidup dalam kenangan-kenangan buruk. Tempat baru diharapkan bisa membantu melupakan kesedihan mereka, Kini, mereka tinggal di pinggiran hutan Baluran. Setelah kehidupan berjalan normal Kang Tohari diangkat menjadi kepala desa. Lantas bagaimana dengan keadaan bangsa jin? Sayangnya, kabar mereka tidak boleh diceritakan. Dibiarkan menjadi misteri, selamanya.

Di mana Dewi Taroro sekarang? Tidak ada yang tahu. Namun, selama Baluran masih ada, selama itu pula kisahnya akan selalu dikenang.

Disadur Oleh,
Ibadrul Huda, S.Pd.
------ Jangan lupa bagikan ya kawan! ------

Posting Komentar

 
Top